Ekspedisi Pamalayu
Ekspedisi Pamalayu adalah sebuah
diplomasi melalui operasi kewibawaan militer yang dilakukan Kerajaan
Singhasari dibawah perintah Raja Kertanagara pada tahun 1275–1286 terhadap Kerajaan Melayu di Dharmasraya di Pulau Sumatera.
Latar belakang
Kertanagara menjadi raja Singhasari sejak tahun 1268. Berbeda dengan raja-raja
sebelumnya, ia berniat memperluas daerah kekuasaan sampai ke luar Pulau Jawa. Gagasan tersebut dimulai
tahun 1275 dengan pengiriman
pasukan di bawah pimpinan Kebo Anabrang untuk
menaklukan bhumi malayu.
Nagarakretagama mengisahkan bahwa
tujuan Ekspedisi Pamalayu sebenarnya untuk menundukkan Swarnnabhumi secara baik-baik.
Namun, tujuan tersebut mengalami perubahan karena raja Swarnnabhumi ternyata
melakukan perlawanan. Meskipun demikian, pasukan Singhasari tetap berhasil
memperoleh kemenangan.
Menurut analisis para sejarawan, latar belakang
pengiriman Ekspedisi Pamalayu adalah untuk membendung serbuan bangsa Mongol. Saat itu kekuasaan Kubilai Khan raja Mongol
(atau Dinasti Yuan) sedang mengancam
wilayah Asia Tenggara. Untuk itu, Kertanagara
mencoba mendahuluinya dengan menguasai Sumatera sebelum datang
serbuan dari pihak asing tersebut. Namun ada juga pendapat lain mengatakan
bahwa tujuan dari ekspedisi ini adalah untuk menggalang kekuatan di Nusantara dibawah satu
komando Singhasari yang bertujuan untuk
menahan kemungkinan serangan dari Mongol.
Sasaran ekspedisi
Beberapa literatur menyebut sasaran Ekspedisi Pamalayu
adalah untuk menguasai negeri Melayu sebagai batu
loncatan untuk menaklukkan Sriwijaya. Dengan demikian, posisi
Sriwijaya sebagai penguasa Asia Tenggara dapat diperlemah. Namun pendapat ini
kurang tepat karena pada saat itu kerajaan Sriwijaya sudah musnah. Nagarakretagama yang
ditulis tahun 1365 juga tidak pernah
menyebutkan adanya negeri bernama Sriwijaya lagi, melainkan bernama Palembang. Itu artinya pada zaman
tersebut, nama Sriwijaya sudah tidak dikenal lagi.
Catatan dari Dinasti Ming memang menyebutkan
bahwa pada tahun 1377 tentara Jawa
menghancurkan pemberontakan San-fo-tsi. Meskipun demikian, istilah San-fo-tsi
tidak harus bermakna Sriwijaya. Dalam catatan Dinasti Song istilah San-fo-tsi
memang identik dengan Sriwijaya, namun dalam naskah Chu-fan-chi yang
ditulis tahun 1225, istilah San-fo-tsi
identik dengan Dharmasraya. Dengan kata lain, San-fo-tsi adalah sebutan
bangsa Cina untuk pulau
Sumatera, sebagaimana mereka menyebut Jawa dengan istilah Cho-po.
Jadi, sasaran Ekspedisi Pamalayu adalah inspeksi pada
Kerajaan Melayu karena dalam Nagarakretagama telah disebutkan
bahwa kerajaan wilayah Melayu merupakan daerah bawahan di antara sekian banyak
daerah jajahan Majapahit, dimana penyebutan Malayu tersebut
dirujuk kepada beberapa negeri yang ada di pulau Sumatera dan Semenanjung
Malaya.
Dharmasraya penganti
Sriwijaya
Istilah Pamalayu dapat bermakna “perang
melawan Malayu” atau kalau alih dari bahasa Sanskrit berarti "tidak
melepaskan Malayu". Hal ini terjadi karena kawasan Melayu yang
sebelumnya berada dibawah kekuasaan Sriwijaya sebagaimana tersebut
padaPrasasti
Kedukan Bukit yang beraksara tahun 682 Dan kemudian
munculnya Dharmasraya mengantikan peran
Sriwijaya sebagai penguasa pulau Sumatera dan Semenanjung
Malaya, seiring dengan melemahnya pengaruh Sriwijaya setelah serangan
pasukan Rajendra Chola dariKoromandel, India sekitar tahun 1025, dimana dari Prasasti Tanyore menyebutkan bahwa
serangan tersebut berhasil menaklukan dan menawan raja dari Sriwijaya.
Kebangkitan kembali Kerajaan Melayu di bawah
pimpinan Srimat Trailokyabhusana Mauli
Warmadewa sebagaimana yang tertulis dalamPrasasti Grahi tahun 1183.
Pengiriman Arca Amoghapasa
Setelah kerajaan Melayu di Dharmasraya dengan rajanya
waktu itu Srimat Tribhuwanaraja Mauli Warmadewa takluk dan menjadi
daerah bawahan, maka pada tahun 1286 Kertanagara
mengirim Arca Amoghapasa untuk ditempatkan di
Dharmasraya. Prasasti Padangroco, tempat dipahatkannya
Arca Amoghapasa menyebutkan bahwa arca tersebut adalah hadiah persahabatan dari
Maharajadhiraja Kertanagara untuk Maharaja Tribhuwanaraja. Sehingga jika
ditinjau dari gelar yang dipakai, terlihat kalau Singhasari telah menjadi
atasan Dharmasraya.
Prasasti Padangroco juga menyebutkan bahwa arca
Amoghapasa diberangkatkan dari Jawa menuju Sumatera dengan diiringgi beberapa
pejabat penting Singhasari di antaranya ialah Rakryan Mahamantri Dyah Adwayabrahma, Rakryan Sirikan Dyah
Sugatabrahma, Payaman Hyang Dipangkaradasa, dan Rakryan Demung Mpu Wira.
Setelah penyerahkan arca tersebut, Raja Melayu kemudian
menghadiahkan dua putrinya, Dara Jingga dan Dara Petak, untuk dinikahkan dengan
Kertanagara di Singhasari.
Kembali ke Jawa
Pararaton menyebutkan bahwa
pasukan Pamalayu yang berangkat tahun 1275 akhirnya pulang
ke Jawa sepuluh hari setelah
kepergian bangsa Mongol tahun 1294.
Menurut catatan Dinasti Yuan, Kaisar Khubilai Khan
mengirim pasukan Mongol untuk menyerang kerajaan Singhasari tahun 1292. Namun, Singhasari
ternyata sudah runtuh akibat pemberontakan Jayakatwang. Pasukan Mongol kemudian
bekerja sama dengan Raden Wijaya penguasa Majapahit untuk menghancurkan
Jayakatwang.
Sesudah itu, Raden Wijaya ganti mengusir pasukan Mongol
dari Pulau Jawa. Kepergian pasukan yang dipimpin Ike Mese itu terjadi pada
tanggal 23 April 1293. Jadi, pemberitaanPararaton meleset
satu tahun. Dengan demikian, kepulangan pasukan Pamalayu tiba di Jawa sekitar
tanggal 3 Mei 1293.
Dan selanjutnya kedua orang putri Melayu tersebut, Raden
Wijaya sebagai ahli waris Kertanagara mengambil Dara Petak sebagai istri, dan
menyerahkan Dara Jingga kepada seorang dewa. Dimana dari Dara Petak
lahirlah nantinya Jayanagara raja Majapahit penganti Raden
Wijaya.
Sedangkan Dara Jingga kemudian melahirkan seorang anak
laki-laki bernama Tuhanku Janaka atau Mantrolot Warmadewa yang identik
dengan Adityawarman, yang kemudian hari
menjadi raja di Malayapura. Adityawarman sendiri
mengaku sebagai putra Adwayawarman. Nama ini mirip dengan salah satu nama
pengawal yang mengantar arca Amoghapasa sebelumnya, yaitu Adwayabrahma yang
menjabat sebagai Rakryan Mahamantri. Jabatan ini merupakan jabatan tingkat
tinggi dalam pemerintahan Singhasari. Mungkin istilah dewa dalam Pararaton merujuk
kepada jabatan ini.
Namun ada pendapat lain terutama dari Prof. Uli Kozok yang
mengatakan bahwa anak dari Dara Jingga tersebut adalah yang bernama Akarendrawarman.
Sisa pasukan Pamalayu
Menurut sumber dari Batak, pasukan Pamalayu
dipimpin oleh Indrawarman, bukan Kebo Anabrang. Tokoh Indrawarman ini tidak
pernah kembali ke Jawa, melainkan menetap diSumatra dan menolak
kekuasaan Majapahit sebagai kelanjutan dari Singhasari. Mungkin, Indrawarman
bukan komandan Pamalayu, melainkan wakilnya. Jadi, ketika Kebo Anabrang kembali
ke Jawa, ia tidak membawa semua pasukan, tetapi meninggalkan sebagian di bawah
pimpinan Indrawarman untuk menjaga keamanan Sumatra. Nama Indrawarman inilah
yang tercatat dalam ingatan masyarakat Batak.
Dikisahkan bahwa Indrawarman bermarkas di tepi Sungai
Asahan. Ia menolak mengakui kedaulatan Majapahit yang didirikan oleh Raden Wijaya sebagai ahli waris
Kertanagara. Namun, ia juga tidak mampu mempertahankan daerah Kuntu–Kampar yang
direbut oleh Kesultanan Aru–Barumun pada tahun 1299. Indrawarman takut
apabila kerajaan Majapahitdatang untuk meminta
pertanggungjawabannya. Ia pun meninggalkan daerah Asahan untuk membangun
kerajaan bernama Silo di daerah Simalungun. Pada tahun 1339 datang pasukan
Majapahit di bawah pimpinan Adityawarman menghancurkan
kerajaan ini.
0 komentar: