Masa Kolonial Eropa
Masa Kolonial Eropa
Seperti
telah dijelaskan pada awal bab, bahwa Nusantara telah terlibat dalam jaringan
perdagangan internasional sejak lama. Jaringan perdagangan yang mengenal Jalur Sutra
dan Jalur Emas itu melibatkan berbagai bangsa dari beberapa benua, termasuk
Eropa.
Cengkih,
pala, dan fuli bersama-sama rempah-rempah yang lain seperti lada dan kayu manis
merupakan komoditi dari kepulauan Indonesia yang paling dicari oleh para
pedagang Eropa itu. Bangsa Eropa yang mencapai Nusantara dan mendirikan
koloninya ialah Portugis, Spanyol, Belanda, dan Inggris. Portugis adalah bangsa
Eropa pertama yang menduduki Kepulauan Indonesia. Portugis mendarat di Kepulauan
Maluku sejak tahun 1512, ketika rombongan yang dipimpin oleh Francisco Serrao
tiba di Hitu. Mereka melakukan perdagangan damai dengan masyarakat setempat.
Portugis juga membuka hubungan dagang dengan Pasai, Barus, Pedir, Aceh, Siak
dan Minangkabau. Di Jawa, Portugis berhasil membangun hubungan yang baik dengan
kerajaan Sunda dan Panarukan di samping hubungan dagang dengan beberapa pusat
perdagangan di pantai utara Jawa. Keadaan menjadi berubah ketika pada tahun
1524, Spanyol tiba di Maluku melalui Tidore. Portugis mulai terlibat konflik
akibat kehadiran bangsa Eropa lainnya, Belanda dan Inggris. Belanda mulai
mendarat di Kepulauan Indonesia melalui Banten pada tahun 1596 dan tiba di
Kepulauan Maluku pada bulan Maret 1599. Adapun Inggris tiba di Banten pada bulan
Juni 1602. Nusantara menjadi ramai akibat kehadiran berbagai bangsa tersebut.
Banyak perusahaan dagang Eropa yang berusaha mendapatkan rempah-rempah dari
Kapulauan Indonesia. Karena banyaknya, mereka membentuk perusahaan patungan.
Misalnya, para pedagang Inggris membentuk (English) East India Company pada
tahun 1600. Para pedagang Belanda membentuk Vereenigde Oost-Indische Compagnie
atau VOC yang oleh masyarakat disebut kompeni, pada bulan Maret 1602.
Kehadiran
berbagai bangsa di Kepulauan Indonesia pada awalnya merupakan bagian dari
kegiatan perdagangan. Hubungan yang terjadi adalah hubungan setara, antara
pedagang dan pembeli. Namun, keadaan perlahan-lahan mulai berubah. Tingginya
persaingan pedagangan antarnegara menyebabkan mereka berusaha menguasai
sumber-sumber rempah-rempah. VOC pada tahun 1610 membentuk jabatan Gubernur
Jenderal yang berkedudukan di Maluku. Kedudukan Gubernur Jenderal di Maluku dan
pos utama lainnya di Banten kemudian dipindahkan ke Batavia pada tahun 1619 .
VOC di Batavia dipimpin oleh Jan Pieterszoon Coen yang bersemboyan "tidak
ada perdagangan tanpa perang dan juga tidak ada perang tanpa perdagangan".
Untuk mempertahankan monopoli di Kepulauan Maluku, VOC melakukan intervensi
militer ke berbagai daerah yang menimbulkan banyak korban, baik penduduk
setempat maupun para pedagang lain.
Sementara
itu, Inggris juga melakukan hal yang sama di bagian lain Kepulauan Indonesia.
Mereka mendirikan pos-pos perdagangan di kepulauan Maluku, membangun kekuatan
lain di Kalimantan, Sulawesi, Sumatera, dan Jawa, seperti Sukadana, Makassar,
Aceh, Jayakarta, dan Jepara antara tahun 1611 dan 1617. Akibatnya, kompetisi
dan konflik menjadi makin jelas yang selalu menempatkan kerajaan dan masyarakat
setempat sebagai korban. Di antara para pedang, VOC paling lancar melakukan
perluasan kekuasaannya. Mereka memanfaatkan kompetisi dan konflik
antarkerajaan-kerajaan lokal serta konflik internal di dalam kerajaan-kerajaan
lokal. Misalnya, Kerajaan Mataram di bawah kekuasaan Sultan Agung ingin
memperluas daerah kekuasaannya di Pulau Jawa dengan cara menyerang
daerah-daerah sekitarnya. Kerajaan atau masyarakat yang menjadi korban tindakan
Sultan Agung ini meminta bantuan VOC dengan berbagai imbalan yang tentu saja
menguntungkan VOC. Ketika terjadi konflik di dalam Kerajaan Mataram yang
menyebabkan Mataram terbagi menjadi Kasunanan Surakarta, Kesultanan Yogyakarta,
dan Kadipaten Mangkunegaran, VOC pun terlibat. Contoh lain ialah konflik antara
Sultan Ageng dengan putra mahkotanya. VOC campur tangan. Akibatnya, bukan hanya
Banten di bawah kekuasaan VOC, tetapi juga Jayakarta.
VOC pada
tahun 1700 telah menguasai sebagian besar pusat penghasil dan perdagangan
rempah-rempah. Sebagai perusahaan besar, VOC tidak terlepas dari berbagai usaha
memperkaya diri para anggotanya. Karena korupsi, nepotisme, pemborosan, dan
kekacauan manajemen menggerogoti VOC, pada tanggal 1 Januari 1800, VOC
dibubarkan. Belanda kemudian membentuk suatu pemerintahan seberang lautan yang
dinamakan Hindia Belanda. Pemerintah Belanda menganggap Indonesia merupakan
koloninya (daerah jajahannya). Pada tahun 1803, terjadi perubahan di Eropa
akibat perang. Prancis menduduki Belanda. Akibatnya, terjadi perubahan di
Hindia Belanda. Louis Napoleon yang menjadi raja Belanda, pada tahun 1806
mengirim Herman Willem Daendels menjadi Gubernur Jenderal, yang tiba di Jawa
pada bulan Januari 1808. Selama kurang lebih tiga tahun berkuasa, Daendels
hanya memfokuskan kegiatannya di Pulau Jawa. Dialah yang membangun jalan
sepanjang 1.000 km mulai dari Anyer sampai Panarukan di Jawa Timur. Perang
terus berlangsung di Eropa. Pada bulan Agustus 1811, kekuasaan di Hindia
Belanda diambil alih oleh Inggris yang dipimpin oleh Thomas Stanford Raffles.
Setelah perang di Eropa berakhir, pada tahun 1816, Hindia Belanda kembali memerintah
di Indonesia. Pemerintah Hindia Belanda selama kurang lebih 125 tahun
berikutnya menguasai Kepulauan Indonesia sampai masuk Jepang pada masa Perang
Dunia II.
2. Perkembangan Ekonomi Rakyat
Kondisi
ekonomi di Kepulauan Indonesia sangat dipengaruhi oleh kedatangan bangsa Barat,
terutama Belanda baik pada masa VOC maupun Hindia Belanda. Kehadiran bangsa
Barat pada awalnya sangat berarti bagi wilayah yang didatanginya. Misalnya, di
Makassar, Banjarmasin, Aceh, Riau, Banten dan pantai utara Jawa, kehadiran
bangsa Barat bahkan membawa wilayah itu ke masa modern. Di daerah-daerah itu
masyarakat setempat maju di bidang ekonomi, terlibat dalam jaringan perdagangan
yang melibatkan berbagai bangsa, mengenal berbagai bentuk mata uang, dan telah
mampu menerapkan berbagai peraturan ekonomi modern. Namun, di lain pihak, pada
saat yang sama, di pusat penghasil cengkeh, pala dan fuli di Maluku, kondisi
ekonomi mengalami perubahan besar yang mengarah pada kemunduran. Melalui
berbagai perjanjian dan tekanan militer, VOC berusaha menghentikan peran
Tidore, Ternate di utara sebagai penghasil cengkeh, pala dan fuli dan
memindahkan pusat penghasil cengkeh dari Maluku Utara ke kepulauan Ambon pada
tahun 1620-an. VOC memberlakukan berbagai peraturan, misalnya Preanger Stelsel
yang dimulai pada tahun 1723 mewajibkan penduduk menanam kopi dan menyerahkan
hasilnya kepada kompeni. Pada tahun 1830, Pemerintah Hindia
Belanda
memperkenalkan Cultuurstelsel atau Sistem Tanam Paksa. Sistem ini diperkenalkan
untuk menutup defisit anggaran baik pemerintah Belanda akibat perang
kemerdekaan Belgia dan Perang Diponegoro. Sistem ini mewajibkan setiap desa
menyerahkan 1/5 dari luas tanahnya kepada pemerintah untuk ditanami komoditi
tertentu seperti gula, nila, kopi, dan tembakau. Sebagai ganti, penduduk akan
menerima tanah ditempat lain untuk ditanami. Selain itu penduduk juga
diwajibkan untuk bekerja dalam jumlah hari tertentu dalam setahun dengan upah
yang telah ditetapkan. Hasil dari penanaman itu akan dihitung dengan pajak per
desa yang harus dibayarkan. Jika jumlah hasil lebih besar, pemerintah akan
membayar kelebihan cultuurprocenten. Jika sebaliknya yang terjadi, desa harus
membayar kekurangannya. Dalam kenyataannya, dampak ekonomis yang dialami
penduduk berbeda dari satu tempat dengan tempat yang lain dan dari satu
komoditi dengan komoditi yang lain. Di daerah yang ditanami nila, penduduknya
lebih menderita, misalnya di Cirebon. Sebaliknya, penduduk di Pasuruan mendapat
keuntungan dari pelaksanaan Cultuurstelsel. Produksi pangan dan ekonomi di
wilayah ini berkembang pesat seiring dengan pelaksanaan kebijakan itu.
Keuntungan dan kesengsaraan yang ditimbulkan oleh Cultuurstelsel telah
menimbulkan dukungan dan perlawanan. Cultuurstelsel dihapuskan dan diberlakukan
undang-undang agraria pada tahun 1870.
Perluasan
ekonomi ke luar Jawa makin luas pada awal abad ke-20, misalnya pembukaan
perkebunan tembakau, karet, dan kelapa sawit di Sumatra Timur. Pembukaan
lahan-lahan perkebunan tersebut tidak mengubah nasib pekerja. Masyarakat terus
hidup dalam kemiskinan, baik sosial maupun fisik yang sangat memperihatinkan.
Sebaliknya, kegiatan tersebut memberikan keuntungan yang luar biasa bagi para
pemilik kebun dan para penguasa lokal. Daerah seperti Deli, Serdang, Langkat,
Medan, dan sekitarnya tumbuh menjadi pusat-pusat ekonomi baru yang mampu
menarik banyak migran dari luar daerah. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa
dampak dari pelaksanaan Sistem Tanam Paksa tidak seluruhnya negatif. Keadaan
tekanan yang makin berat menyebabkan masyarakat berusaha meningkatkan kegiatan
pertanian, perdagangan, industri dan jasa.
3. Perlawanan terhadap Kolonial Eropa
Perlawanan
terhadap bangsa Barat di Kepulauan Indonesia dapat dibedakan berdasarkan waktu
dan pelakunya. Berdasarkan waktu, perlawanan itu dapat dikelompokkan dalam dua
periode besar. Pertama, perlawanan terhadap pedagang serakah yang berpolitik
yang terjadi sepanjang abad ke-16 sampai akhir abad ke-18. Kedua, perlawanan
terhadap pemerintah Hindia Belanda sejak abad ke-19. Berdasarkan pelakunya,
perlawanan dapat dibedakan antara perlawanan oleh pemerintah atau elite lokal
dan perlawanan oleh masyarakat atau rakyat.
a.
Perlawanan antara Abad ke-16-18
Setelah Portugis menguasai Malaka, Pati Unus dari Jepara menyerbu Malaka pada malam tahun baru akhir tahun 1512. Setelah Pati Unus secara berturut-turut pasukan dari Aceh, Jawa dan Melayu silih berganti menyerang kedudukan Portugis di Malaka sejak tahun 1535. Bahkan, Sultan Iskandar Muda berkali-kali melakukan serangan sampai akhirnya Portugis dikalahkan Belanda pada abad ke-17.
Setelah Portugis menguasai Malaka, Pati Unus dari Jepara menyerbu Malaka pada malam tahun baru akhir tahun 1512. Setelah Pati Unus secara berturut-turut pasukan dari Aceh, Jawa dan Melayu silih berganti menyerang kedudukan Portugis di Malaka sejak tahun 1535. Bahkan, Sultan Iskandar Muda berkali-kali melakukan serangan sampai akhirnya Portugis dikalahkan Belanda pada abad ke-17.
Penguasa dan
penduduk Maluku pun melakukan perlawanan terhadap Portugis, seperti yang
dilakukan oleh pendukung Pangeran Ayalo pada tahun 1531 dan 1534. Sultan
Baabullah, anak Sultan Khairun dari Ternate yang dibunuh Portugis pada tahun
1570, mengepung benteng Portugis pada tahun 1575 dan memaksa Portugis pergi
dari Ternate. Sultan Agung dari Mataram melakukan ekspansi militer ke posisi
VOC di Jakarta pada tahun 1628 dan 1629. Banyak prajurit Mataram gugur dalam
kedua serangan ini. Di pihak VOC, Gubernur Jenderal Jan Pieterzoon Coen
meninggal di dalam benteng pada bulan September 1629 pada saat markas VOC
sedang dikepung oleh tentara Mataram. Mataram masih berusaha melawan VOC sampai
tahun 1636 memutuskan untuk berhenti menghadang kapal-kapal VOC setelah
menyadari bahwa Portugis tidak mampu membantu mereka melawan VOC. Di Sulawesi,
VOC harus berhadapan dengan Sultan Hasanuddin dan para pengikutnya walaupun
Perjanjian Bungaya ditandatangani pada tahun 1667. Perlawanan kerajaan atau
penguasa lokal di Sulawesi Selatan terhadap Belanda terus dilakukan sampai
abad-abad berikutnya.
Di Banten,
VOC mendapat perlawanan dari Sultan Ageng Tirtayasa pada tahun 1656 dan 1680.
Perlawanan ini merupakan kelanjutan dari perlawanan yang telah dilakukan
penguasa Banten sebelumnya pada tahun 1619 dan 1633-1639. Pada perlawanan
antara tahun 1680 sampai 1683, pasukan Banten didukung oleh tentara dari
Makassar yang dipimpin oleh Shaikh Yusuf Makassar, seorang ulama yang telah
tinggal di Banten sejak tahun 1672. Shaikh Yusuf ditangkap pada tahun 1683 dan
dibuang ke Afrika Selatan, tempat ia meninggal enam belas tahun kemudian. Di
Maluku, perlawanan dilakukan oleh masyarakat Ternate pada tahun 1635, 1646, dan
tahun 1650. Di Tidore, Sultan Nuku bersama dengan pasukan Inggris berhasil
mengusir VOC. Bahkan, Sultan Nuku berhasil mengusir Inggris dari Tidore. Masih
banyak perlawanan lainnya di berbagai tempat di Kepulauan Indonesia sampai VOC
dibubarkan pada akhir abad ke-18.
b.
Perlawanan antara Abad ke-19
Berikut kita akan melihat perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap pemerintah kolonial yang sewenang-wenang. Perlawanan senjata terjadi di beberapa tempat seperti berikut. Di Maluku, perlawanan dipimpin oleh Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura. Di antara para pengikutnya, terdapat seorang perempuan, Christina Marta Tiahahu. Perlawanan yang meletus di Saparua itu terjadi akibat tekanan ekonomi yang makin berat. Pattimura, seorang yang pernah berdinas sebagai tentara pada masa Inggris, ditangkap pada bulan November 1817, dan digantung hanya sembilan hari sebelum perayaan Natal pada tahun 1817. Di Sumatra Barat, perlawanan dilakukan oleh kaum Paderi sejak tahun 1821--1837 yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Ekspedisi militer Belanda melawan kaum Paderi sempat dihentikan karena kebutuhan militer dan keuangan yang besar dialihkan untuk menghadapi perang di Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro. Di Jawa, perlawanan dilakukan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta pada tahun 182-1830. Perlawanan yang mendapat dukungan sebagian elite dan rakyat mampu membuat Belanda kelabakan sehingga harus menarik pasukannya dari Perang Paderi.
Berikut kita akan melihat perlawanan yang dilakukan rakyat terhadap pemerintah kolonial yang sewenang-wenang. Perlawanan senjata terjadi di beberapa tempat seperti berikut. Di Maluku, perlawanan dipimpin oleh Thomas Matulessy atau Kapitan Pattimura. Di antara para pengikutnya, terdapat seorang perempuan, Christina Marta Tiahahu. Perlawanan yang meletus di Saparua itu terjadi akibat tekanan ekonomi yang makin berat. Pattimura, seorang yang pernah berdinas sebagai tentara pada masa Inggris, ditangkap pada bulan November 1817, dan digantung hanya sembilan hari sebelum perayaan Natal pada tahun 1817. Di Sumatra Barat, perlawanan dilakukan oleh kaum Paderi sejak tahun 1821--1837 yang dipimpin oleh Imam Bonjol. Ekspedisi militer Belanda melawan kaum Paderi sempat dihentikan karena kebutuhan militer dan keuangan yang besar dialihkan untuk menghadapi perang di Jawa yang dipimpin oleh Diponegoro. Di Jawa, perlawanan dilakukan Pangeran Diponegoro dari Yogyakarta pada tahun 182-1830. Perlawanan yang mendapat dukungan sebagian elite dan rakyat mampu membuat Belanda kelabakan sehingga harus menarik pasukannya dari Perang Paderi.
Di
Kalimantan, Perang Banjar di bawah pimpinan Pangeran Antasari terjadi sejak 28
April 1859. Penyebabnya ialah campur tangan Belanda dalam persoalan interen
kerajaan. Walaupun Kerajaan Banjar dihapus pada tahun 1860, penangkapan
terhadap Pangeran Hidayat dan kematian Pangeran Antasari tidak menghentikan
perlawanan elite lokal dan rakyat terhadap Belanda sampai perang berakhir pada
tahun 1905. Di Aceh, perlawanan kerajaan, elite, dan rakyat Aceh berlangsung
antara tahun 1873-1912. Perang Aceh merupakan salah satu perang yang melelahkan
dan menguras keuangan pemerintah Hindia Belanda. Biarpun secara resmi
pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang Aceh berakhir pada tahun 1912,
perlawanan rakyat Aceh terhadap Belanda terus berlangsung sampai Perang Dunia
II.
4. Perkembangan Masyarakat, Kebudayaan dan
Pemerintahan
Perkembangan
masyarakat, kebudayaan, dan sistem pemerintahan di Indonesia pada masa kolonial
Eropa sangat dipengaruhi oleh keberadaan bangsa asing tersebut. Pada awalnya,
bangsa Eropa datang untuk membeli rempah-rempah yang tidak dihasilkan di
negaranya. Namun, karena mendatangkan keuntungan luar biasa, mereka menerapkan
semangat kolonialis dan imperialis. Semangat kolonialis ialah semangat
penguasaan oleh suatu negara atas bangsa lain dengan maksud untuk memperluas negara
itu. Imperialis ialah memperluas daerah jajahannya untuk kepentingan industri
dan modal. Akibatnya, masyarakat yang semula adalah pemilik berbalik menjadi
budak. Masyarakat kehilangan hak atas milik mereka sendiri melalui berbagai
kebijakan, seperti monopoli, tanam paksa, sewa tanah, penyerahan wajib, dan
lain-lain yang diterapkan oleh kolonial. Di bidang kebudayaan, terjadi
perkembangan dari masa ke masa. Kedatangan bangsa Eropa membawa agama baru di
Kepulauan Indonesia, Kristen Protestan dan Katholik. Adat istiadat bangsa Eropa
juga berpengaruh dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, mulai dari dalam
keraton sampai rakyat jelata. Pengaruh itu dapat dilihat dari tata cara bergaul
(lebih bebas dan demokratis), gaya perkawinan, model berpakaian, disiplin,
menghargai waktu, rasionalis, individualistis (sifat mementingkan diri),
materialistis (sifat mementingkan materi), dan pendidikan.
Di bidang
pendidikan, pemerintah kolonial membangun sekolah-sekolah, baik sekolah umum
maupun kejuruan. Walaupun membedakan para peserta didik dengan membedakan
sekolah untuk anak-anak khusus Belanda, bangsawan, dan rakyat jelata, namun
pendidikan membawa dampak positif bagi cara berpikir anak bangsa. Bahkan, ada
mahasiswa Indonesia yang bersekolah sampai ke Belanda. Kaum terdidik inilah
yang bahu-membahu dengan para pemuda mulai memikirkan untuk melepaskan diri
dari penjajahan. Di bidang pemerintahan, para pemimpin kita tidak berdaya
menghadapi para pedagang yang licik. Para pemimpin kita dengan mudah termakan
oleh politik adu domba yang dijalankan oleh para penjajah. Jika pun para
pemimpin mencoba untuk melawan, kebanyakan mereka terpaksa menyerah karena
lemahnya persenjataan atau karena kelicikan Belanda. Akibatnya, Belanda
berhasil menguasai kerajaan yang dipimpinnya. Raja atau sultan yang memerintah
hanyalah merupakan simbol yang telah kehilangan kekuasaannya. Dalam menjalankan
kekuasaannya, pemerintah Hindia Belanda menerapkan hukum seperti yang berlaku
di Belanda. Sistem pemerintahan yang diterapkan mengikuti ajaran Trias
Politica. Sistem ini mengenal pemisahan antara lembaga legislatif (pembuat
undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang), dan yudikatif (pengawas
pelaksanaan undang-undang).
0 komentar: