Lembaga Peradilan Nasional
Lembaga
Peradilan Nasional adalah suatu keseluruhan komponen peradilan nasional
pihak-pihak dalam proses peradilan maupun aspek-aspek yang saling terkait
sedemikian rupa.
Lembaga
Peradilan negara ditetapkan dengan undang-undang. Hal ini menunjukan bahwa
selain peradilan negara, tidak dibolehkan ada peradilan-peradilan yang bukan di
lakukan oleh badan peradilan negara (Pasal 3 UU No. 4 Tahun 2004).
Pengadilan
tidak hanya mengadili berdasarkan undang-undang, tetapi mengadili menurut
hukum. Kekuasaan ini memberi kebebasan lebih besar kepada hakim (Pasal 5 ayat 1
UU No.4 Tahun 2004).
Kebebasan kehakiman, bersifat menunggu (pasif), dengan itu apabila tidak ada perkara (Pasal 6 UU No.4 tahyn 2004)
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilisuatu perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukumannya tidak jelas atau kurang jelas. Dengan kata lain, suatu perkara yang undang-undangnya tidak lengkap atau tidak ada, pengadilan wajib menemukan hukumannya dengan jalan menafsirkan , mengalin, mengkuti memahami, nilai-nilai hukum hidup dalam masyarakt (Pasal 9 UU No.4 tahun 2004).
Untuk lebih menjamin objektivitas kekuasaan kehakiman, sidang pemerikasa pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Tidak dipenuhi kebutuhan tersebut menyebabkan batalnya putusan menurut hukum “social control”. Hal ini tidak bararti setiap pngunjung dap[at menunjukan protes atau menunjukan keberatan terhadap putusan hakim (Pasal 19 UU No. 4 tahun 2004).
Semua pengadilan memeriksa dan memutus perkara dengan majelis yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga orang. Tujuan ketantuan tersebut adalah untuk lebih menjamin rasa keadilan. Asas keadilan ini tidak menutup kemungkinan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang dilakukan oleh hakim tunggal (Pasal 17 ayat 1 UU No.4 2004).
Para pihak yang bersangkutan (sengketa) atau terdakwa mempunyai hak ingkar (recusatie) terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Hak ingkar adalah hak seorang yang diadili untuk menunjukan keberatan-keberatanya yang disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang hakim yang akn atau sedang mengadili perkaranya (Pasal 29 ayat 1 dan 2 UU No.4 tahun 2004).
Jika seorang hakim masih terikat hubungan sedarah sampai derajat ke yiga atau semenda (Hubungan keluarga akibat perkawinan) dengan ketua, dalah seorang anggota hakim, jaksa, atau penasehat hukum panitrera dalam suatu perkara tertentu wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara tersebut (Pasal 29 ayat 3dan4 UU No.4 tahun 2004)
Semua putusanhakim harus disertai alsan-alasan putusan. Putusan pengadilan harus objektif dan berwibawa. Oleh karena itu harus disertai alasan-alasan putusan atau prtimbangan mengapa hakim sampe ada putusanya.
Dalam rangka menjaga kehormatan . Keluhuran martabat serta perilaku hakim agung , pengawasan dilakukan oleh komisai yudisial yang mengatur dalam undang-undang.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh makamah agung. Badan peradilan yang berada di bawah pengadilan Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Pengadilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Kebebasan kehakiman, bersifat menunggu (pasif), dengan itu apabila tidak ada perkara (Pasal 6 UU No.4 tahyn 2004)
Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilisuatu perkara yang diajukan dengan alasan bahwa hukumannya tidak jelas atau kurang jelas. Dengan kata lain, suatu perkara yang undang-undangnya tidak lengkap atau tidak ada, pengadilan wajib menemukan hukumannya dengan jalan menafsirkan , mengalin, mengkuti memahami, nilai-nilai hukum hidup dalam masyarakt (Pasal 9 UU No.4 tahun 2004).
Untuk lebih menjamin objektivitas kekuasaan kehakiman, sidang pemerikasa pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali undang-undang menentukan lain. Tidak dipenuhi kebutuhan tersebut menyebabkan batalnya putusan menurut hukum “social control”. Hal ini tidak bararti setiap pngunjung dap[at menunjukan protes atau menunjukan keberatan terhadap putusan hakim (Pasal 19 UU No. 4 tahun 2004).
Semua pengadilan memeriksa dan memutus perkara dengan majelis yang sekurang-kurangnya terdiri atas tiga orang. Tujuan ketantuan tersebut adalah untuk lebih menjamin rasa keadilan. Asas keadilan ini tidak menutup kemungkinan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara yang dilakukan oleh hakim tunggal (Pasal 17 ayat 1 UU No.4 2004).
Para pihak yang bersangkutan (sengketa) atau terdakwa mempunyai hak ingkar (recusatie) terhadap hakim yang mengadili perkaranya. Hak ingkar adalah hak seorang yang diadili untuk menunjukan keberatan-keberatanya yang disertai dengan alasan-alasan terhadap seorang hakim yang akn atau sedang mengadili perkaranya (Pasal 29 ayat 1 dan 2 UU No.4 tahun 2004).
Jika seorang hakim masih terikat hubungan sedarah sampai derajat ke yiga atau semenda (Hubungan keluarga akibat perkawinan) dengan ketua, dalah seorang anggota hakim, jaksa, atau penasehat hukum panitrera dalam suatu perkara tertentu wajib mengundurkan diri dari pemeriksaan perkara tersebut (Pasal 29 ayat 3dan4 UU No.4 tahun 2004)
Semua putusanhakim harus disertai alsan-alasan putusan. Putusan pengadilan harus objektif dan berwibawa. Oleh karena itu harus disertai alasan-alasan putusan atau prtimbangan mengapa hakim sampe ada putusanya.
Dalam rangka menjaga kehormatan . Keluhuran martabat serta perilaku hakim agung , pengawasan dilakukan oleh komisai yudisial yang mengatur dalam undang-undang.
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh makamah agung. Badan peradilan yang berada di bawah pengadilan Mahkamah Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan Pengadilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah mahkamah konstitusi.
Dasar
hukum peradilan nasional, yaitu :
1.
Pasal 1 ayat 3 UUD 1945 : “Negara
Indonesia adalah negara hukum”
Menegaskan bahwa kekuasaan negara dijalankan atas dasar hukum yang
baik dan adil.
2.
Pasal 24 ayat 1 UUD 1945 : “Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan”
Menegaskan kekuasaan kehakiman harus bebas dari campur tangan
kekuasaan lainnya.
3.
Pasal 24 ayat 2 UUD 1945 : “Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada
di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama,
lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”
Menegaskan bahwa kekuasaan kehakimah dilaksanakan oleh Mahkamah
Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya.
Perangkat
lembaga peradilan nasional terdiri atas :
1.
Mahkamah Agung (MA) adalah
pengadilan negara tertinggi dari semua lingkungan peradilan. MA berkedudukan di
ibu kota negara yang daerah hukumnya mencakup seluruh wilayah Indonesia.
Susunan MA terdiri dari : hakim, sekretaris, pimpinan yang jumlahnya maksimal
60 orang.
Fungsi Mahkamah Agung adalah sebagai berikut.
a.
Sebagai puncak semua peradilan dan
sebagai pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan dan memimpin
pengadilan-pengadilan yang bersangkutan.
b.
Melakukan pengawasan tertinggi
terhadap jalannya peradilan di semua lingkungan peradilan di Indonesia dan
menjaga supaya peradilan diselenggarakan dengan saksama dan sewajarnya.
c.
Mengawasi dengan cermat perbuatan
para hakim di semua lingkungan peradilan.
d.
Untuk kepentingan negara dan
keadilan, Mahkamah Agung memberi peringatan, teguran, dan petunjuk yang
dipandang perlu baik dengan surat tersendiri, maupun dengan surah edaran.
2.
Mahkamah Konstitusi (MK) adalah
salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman untuk
menyelenggarakan peradilan, MK berkedudukan di ibu kota negara. Susunan MK
terdiri dari : ketua, wakil, serta 7 orang anggota hakim konstitusi.
3.
Komisi Yudisial merupakan lembaga
negara yang bersifat mandiri dan dalam pelaksanaan wewenangnya bebas dari
pengaruh kekuasaan lain, Komisi Yudisial berkedudukan di ibu kota negara RI.
Susunan Komisi Yudisial terdiri dari :pimpinan dan anggota.
Lembaga
peradilan di Indonesia diserahkan kepada Mahkamah Agung sebagai pemegang
kekuasaan kehakiman. Mahkamah Agung memiliki tugas pokok seperti menerima,
memeriksa, mengasili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya.
Susunan lembaga peradilan di Indonesia adalah sebagai berikut.
- Pengadilan Umum (UU No. 2 tahun 1986)
Pengadilan Umum memeriksa dan memutuskan perkara tingkat pertama
dari segala perkara perdata dan pidana sipil untuk semua golongan penduduk (WNI
dan WNA).
Pengadilan Negeri berkedudukan di Daerah Tingkat II atau yang
setingkat. Perkara-perkara yang ada diselesaikan oleh hakim dan dibantu oleh
panitera. Setiap Daerah Tingkat II juga memiliki Kejaksaan Negeri yang
berfungsi sebagai penuntut umum dalam suatu perkara pidana terhadap si
pelanggar hukum. Namun, Kejaksaan Negeri tidak campur tangan dalam perkara
perdata.
2. Pengadilan Agama (UU No. 7 tahun
1989)
Pengadilan Agama memeriksa dan memutuskan perkara-perkara yang
timbul di antara umat Islam, yang berkaitan dengan nikah, rujuk, talak
(perceraian), nafkah, waris, dan lain-lain. Dalam hal yang dianggap perlu,
keputusan Pengadilan Agama dinyatakan berlaku oleh Pengadilan Negeri.
3. Pengadilan Militer (UU No. 5 tahun
1950)
Pengadilan Militer mengadili tindak pidana yang dilakukan oleh :
1.
Anggota TNI dan Polri;
2.
Seseorang yang menurut undang-undang
dapat dipersamakan dengan anggota TNI dan Polri;
3.
Anggota jawatan atau golongan yang
dapat dipersamakan dengan TNI dan Polri menurut Undang-Undang;
4.
Tidak termasuk 1 sampai dengan 3,
tetapi menurut keputusan Menhankam yang ditetapkan dengan persetujuan Menteri
Kehakiman harus diadili oleh Pengadilan Militer.
d.
4. Pengadilan Tata Usaha Negara (UU No.
5 tahun 1986)
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia masih relatif baru.
PTUN ditetapkan dengan Undang-Undang No. 5 tahun 1986 dengan Peraturan
Pemerintah No. 7 tahun 1991.
Pengadilan ini merupakan badan yang berwenang memeriksa, memutus
dan menyelesaikan semua sengketa tata usaha negara,
Masalah-masalah yang menjadi jangkauan Pengadilan Tata Usaha Negara
antara lain sebagai berikut.
a.
Bidang Sosial, yaitu gugatan atau
permohonan terhadap keputusan administrasi tentang penolakan permohonan surat
izin.
b.
Bidang Ekonomi, yaitu gugatan atau
permohonan yang berkaitan dengan perpajakan, merk, agraria, dan sebagainya.
c.
Bidang Function Publique,
yaitu gugatan atau permohonan yang berhubungan dengan status atau kedudukan
seseorang. Misalnya, bidang kepegawaian, pemecatan, pemberhentian hubungan
kerja, dan sebagianya.
d.
Bidang Hak Asasi Manusia, yaitu
gugatan atau permohonan yang berkaitan dengan pencabutan hak milik seseorang
serta penangkapan dan penahanan yang tidak sesuai dengan prosedur hukum
(seperti yang diatur dalam KUHP) mengedai praperadilan, dan sebagainya.
0 komentar: