Berprasangka dan Ghibah

Berprasangka
bÎ)ur ôìÏÜè? uŽsYò2r& `tB Îû ÇÚöF{$# x8q=ÅÒム`tã È@Î6y «!$# 4 bÎ) tbqãèÎ7­Ftƒ žwÎ) £`©à9$# ÷bÎ)ur öNèd žwÎ) tbqß¹ãøƒs ÇÊÊÏÈ  
116. dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah) [Q.S Al-An’am (6) ayat 116]
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#qç7Ï^tGô_$# #ZŽÏWx. z`ÏiB Çd`©à9$# žcÎ) uÙ÷èt/ Çd`©à9$# ÒOøOÎ) ( Ÿwur (#qÝ¡¡¡pgrB Ÿwur =tGøótƒ Nä3àÒ÷è­/ $³Ò÷èt/ 4 =Ïtär& óOà2ßtnr& br& Ÿ@à2ù'tƒ zNóss9 ÏmŠÅzr& $\GøŠtB çnqßJçF÷d̍s3sù 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# 4 ¨bÎ) ©!$# Ò>#§qs? ×LìÏm§ ÇÊËÈ  
12. Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. [Q.S Al-Hujurat (49) ayat 12]
y#øŸ2 bÎ)ur (#rãygôàtƒ öNà6øn=tæ Ÿw (#qç7è%ötƒ öNä3Ïù ~wÎ) Ÿwur Zp¨BÏŒ 4 Nä3tRqàÊöãƒ öNÎgÏdºuqøùr'Î/ 4n1ù's?ur óOßgç/qè=è% öNèdçŽsYò2r&ur šcqà)Å¡»sù ÇÑÈ  
8. bagaimana bisa (ada Perjanjian dari sisi Allah dan RasulNya dengan orang-orang musyrikin), Padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan) perjanjian. mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang Fasik (tidak menepati perjanjian). [Q.S At-Taubah (9) Ayat 8]
$tBur Mçlm; ¾ÏmÎ/ ô`ÏB AOù=Ïæ ( bÎ) tbqãèÎ7­Ftƒ žwÎ) £`©à9$# ( ¨bÎ)ur £`©à9$# Ÿw ÓÍ_øóムz`ÏB Èd,ptø:$# $\«øx© ÇËÑÈ  
28. dan mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuanpun tentang itu. mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan sedang Sesungguhnya persangkaan itu tiada berfaedah sedikitpun terhadap kebenaran. [Q.S An-Najm (53) ayat 28]

"Dari Abi Hurairah berkata : Bersabda Rasulullah sallallahu ‘alaihi wa-sallam:
Aku peringatkan kamu dari prasangka sesungguhnya prasangka itu adalah bisikan yang
paling bohong. Dan janganlah kamu mencari-cari rahsia (kelemahan, ke’aiban dan
keburukan saudaranya), janganlah merasa-rasakan (yang bukan-bukan), janganlah
kamu melakukan pertengkaran, jangan berhasad (dengki), jangan berbenci-bencian,
janganlah membelakangkan (saudaramu seagama). Dan jadilah kamu hamba Allah yang bersaudara". (H.R al-Bukhari).
Sebab- Sebab Su’udzon
1.      Niatan yang buruk
2.      Tidak terbiasa dalam menggunakan kaidah yang benar dalam menghukumi sesuatu. Kaidah tersebut adalah:
a.       Melihat segala sesuatu dari lahiriyahnya dan membiarkan batiniahnya menjadi urusan Allah.
b.      Selalu mendasarkan atas bukti-bukti
c.       Memastikan kebenaran bukti-bukti tersebut
d.      Bukti-bukti tersebut tidak saling bertentangan satu dengan yang lainnya.
3.      Lingkungan yang buruk akhlaknya
4.      Mengikuti hawa nafsu
5.      Terjatuh dalam masalah syubhat
6.      Tidak memperhatikan adab-adab Islam dalam berkomunikasi. Adab komunikasi adalah: a) Tidak diperbolehkan berkomunikasi berdua dan lebih baik bertiga b) Pembicaraan hendaknya dalam kebaikan dan ketaatan.
7.      Mengabaikan masa kini yang baik dan hanya terpaku pada masa lalu yang buruk.
Dampan Buruk Dari Berburuk Sangka Suudzon
1.      Berpotensi menganggu jiwa dan kesehatan mental.
Selama orang suka usil dan hanya mencari-cari kesalahan dan kelemahan orang maka selama itu pula pikiran dan perasaan dan pikirannya dipenuhi oleh hal negatif, selama itu pula kita tidak akan maju dan berprestasi.
2.      Merusak diri.
Beburuk sangka secara berlebihan hanya akan menimbulkan penyakit dendam kesumat yang pada akhirnya kalau dibiarkan akan merusak diri.
3.      Membuat kita tidak produkitf.
Pengalaman menunjukan bahwa berburuk sangka hanya membuat kita tidak produktif, malas, dan lebih sering menggunakan perasaan untuk membela diri yang sebenarnya tidak perlu dilakukan.
4.      Sulit Untuk bahagia.
Jika perasaan buruk sangka ini terus menerus dikembangkan pada orang disekitar kita msialnya teman atau tetangga kita dapat dipastikan kita tidak akan memperoleh kebahagiaan dalam hidup ini, karena perasaan kita selalu diliputi oleh rasa dengki dan iri hati.
5.      Bisa membuat sakit.
Berburuk sangka bisa membuat kita sakit secara fisik.Hal ini bukanlah sekedar kata orang tetapi telah dibuktikan secara ilmiah.Dalam studi yang dilakukan di Amerika Serikat, partisipan dalam penelitian yang hanya memfokuskan fikirannya pada masa-masa lalunya yang menyedihkan, sistem kekebalan tubuhnya melemah secara signifikan.Dari penelitian tersebut, juga terlihat adanya hubungan antara aktivitas bagian otak yang berhubungan dengan depresi, dan tentunyahal ini sangat berbahaya bagi kesehatan tubuh kita.
6.      Sikap Pengecut.
Berburuk sangka adalah sesuatu yang tidak ksatria dan cenderung melamahkan semangat hidup utuk berkompetisi sehingga akhirnya menimbulkan sikap pengecut di dalam diri kita. Tentunya kalau kita ingin maju, sudah barang tentu berbagai macam hambatan dan rintangan haruslah dilalu dengan cara yang benar, bukan dengan mencari-cari kesalahan orang lain agar kita dianggap benar.
7.      Tidak Rasional.
Sangat tidak rasional kalau kita berburuk sangka pada orang lain karena prestasi yang mereka buat karena kita lebih menggunakan aspek perasaan daripada logika perfikir kita, dimana kalau kita biarkan terus menerus hal ini bisa membuat diri kita menjadi kerdil.

Cara Mengatasi Su’udzon
1.      Membangun aqidah yang benar yang berpegang di atas prinsip husnudzon spada Allah, Rasul-Nya dan orang-orang Mukmin.
2.      Melakukan tarbiyah dalam rangka mengokohkan aqidah dalam diri
3.      Membiasakan diri untuk komitmen dengan adab-adab Islam di dalam menghukumi segala sesuatu.
4.      Menjauhkan diri dari masalah-masalah subhat
5.      Berusaha untuk berada dalam lingkungan yang baik
6.      Mujahadah dan berusaha untuk mengendalikan hawa nafsu dan syahwat
7.      Mempersepsikan manusia dengan realitas sekarang dan bukan masa lalunya
8.      Senantiasa membaca buku-buku sejarah orang-orang yang shalih
Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selemat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]
”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Ghibah
لَقَدْ قُلْتِ كَلِمَةً لَو مُزِجَتْ بِمَاءِ البَحْرِ لَمَزَجَتْهُ
“Sungguh engkau telah berkata dengan suatu kalimat yang kalau seandainya dicampur dengan air laut niscaya akan merubah air laut itu.” (H.R. Abu Dawud 4875 dan lainnya).
Asy Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata: “Dapat merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari perbuatan tersebut.” (Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin 3/25)
Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانَهِ وَلَمْ يَفْضِ الإِيْمَانُ إِلَى قَلْبِهِ لاَ تُؤْذُوا المُسْلِمِيْنَ وَلاَ تُعَيِّرُوا وَلاَ تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ يَتَّبِعْ عَوْرَةَ أَخِيْهِ الْمُسْلِمِ تَتَّبَعَ اللهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبَعِ اللهُ يَفْضَحْهُ لَهُ وَلَو في جَوْفِ رَحْلِهِ
“Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya. Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
Asy Syaikh Al Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39 berkata:
لاَتُشْغِلَنَّ بِعَيْبِ غَيْرِكَ غَافِلاًعَنْ عَيْبِ نَفْسِكَ إِنَّهُ عَيْبَانِ
Janganlah kamu tersibukkan dengan aib orang lain, justru kamu lalai. Dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban. (Lihat Nashihati linnisaa’ hal. 32)
Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَدَّ عِرْضَ أَخِيْهِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.” (H.R. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya)
#sŒÎ)ur (#qãèÏJy uqøó¯=9$# (#qàÊtôãr& çm÷Ztã (#qä9$s%ur !$uZs9 $oYè=»uHùår& öNä3s9ur ö/ä3è=»uHùår& íN»n=y öNä3øn=tæ Ÿw ÓÈötFö;tR tûüÎ=Îg»pgø:$# ÇÎÎÈ  
55. dan apabila mereka mendengar Perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: "Bagi Kami amal-amal Kami dan bagimu amal-amalmu, Kesejahteraan atas dirimu, Kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil". [Q.S Al-Qashash (28) ayat 55]
Dari shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ وَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذالكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ
“Barang siapa yang melihat kemungkaran hendaknya dia mengingkarinya dengan tangan. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan hatinya, yang demikian ini selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun ‘alaihi)














Ukhuwah
a.       Definisi
Kata ukhuwah menurut bahasa berasal dari “akhun” artinya berserikat atau persaudaraan. Jika kata ini dirangkai dengan Islamiyyah maka pengertian ukhuwah Islamiyah adalah persaudaraan  yang  bersifat  Islami  atau  yang  diajarkan  oleh  Islam.
b.      Bentuk-Bentuk  Ukhuwah 
Ada 4 macam ukhuwah yang dijelaskan  dalam  kitab  suci  Al- Qur’an, yaitu:
1.      Ukhuwwah  Ubudiyyah  adalah  persaudaraan  karena  sesama  makhluk  yang  tunduk  kepada  Allah  SWT.
2.      Ukhuwah  Insaniyyah  ( basyariyyah ) dalam  arti  seluruh  umat  manusia  adalah  bersaudara, karena  mereka semua  berasal  dari  seorang  ayah  dan  ibu.
3.      Ukhuwwah  Wathaniyyah  wa an- nasab, yaitu  persaudaraan  dalam  keturunan  dan  kebangsaan.
4.      Ukhuwwah  fi din Al- Islam, Persaudaraan  antarsesama  muslim.
c.       Hikmah Ukhuwah
Ada beberapa hikmah ukhuwah diantaranya:
1.      Ukhuwah menciptakan wihdah (persatuan)
Sebagai contoh dapat kita lihat dalam kisah heroik perjuangan para pahlawan bangsa negeri yang bisa dijadikan landasan betapa ukhuwah benar-benar mampu mempersatukan para pejuang pada waktu itu. Tidak ada rasa sungkan untuk berjuang bersama, tidak terlihat lagi perbedaan suku, ras dan golongan, yang ada hanyalah keinginan bersama untuk merdeka dan kemerdekaan hanya bisa dicapai dengan persatuan.
2.      Ukhuwah menciptakan quwwah (kekuatan)
Adanya perasaan ukhuwah dapat menciptakan kekuatan (quwwah) karena rasa persaudaraan atau ikatan keimanan yang sudah ditanamkan dapat menentramkan dan menenangkan hati yang awalnya gentar menjadi tegar sehingga ukhuwah yang telah terjalin dapat menimbulkan kekuatan yang maha dahsyat.
3.      Ukhuwah menciptakan mahabbah (cinta dan kasih sayang)
Sebuah kerelaan yang lahir dari rasa ukhuwah yang telah terpatri dengan baik pada akhirnya memunculkan rasa kasih sayang antar sesama saudara se-iman. Yang dulunya belum kenal sama sekali namun setelah dipersaudarakan semuanya dirasakan bersama. Inilah puncak tertinggi dari ukhuwah yang terjalin antar sesama umat islam.
d.      Cara menciptakan ukhuwah
Berdasarkan QS Al-Hujurat (49): 11-12, dijelaskan bahwa ada enam hal yang harus kita hindari agar ukhuwah tercipta, yaitu:
1.      memperolok-olokan, baik antar individu maupun antar kelompok, baik dengan kata-kata maupun dengan bahasa isyarat karena hal ini dapat menimbulkan rasa sakit hati, kemarahan dan permusuhan. kita.
2.      mencaci atau menghina orang lain dengan kata-kata yang menyakitkan, apalagi bila kalimat penghinaan itu bukan sesuatu yang benar.
3.      memanggil orang lain dengan panggilan gelar-gelar yang tidak disukai.
4.      berburuk sangka, ini merupakan sikap yang bermula dari iri hati (hasad).
5.      mencari-cari kesalahan orang lain,
6.      bergunjing dengan membicarakan keadaan orang lain yang bila ia ketahui tentu tidak menyukainya, apalagi bila hal itu menyangkut rahasia pribadi seseorang.
Khusus dalam menciptakan ukhuwah islamiyyah (persaudaraan antar sesama muslim) dapat dilakukan dengan hal-hal sebagai berikut:
1.      Menegakkan shalat berjamaah di masjid.
2.      Menebarkan salam dan tidak saling acuh
3.      Membantu meringankan beban yang sedang menghimpit saudaranya.
4.      Saling memaafkan.
5.      Menjauhi perbuatan maksiat, seperti minum khamr dan judi.
6.      Saling mendo’akan dengan kebaikan.

Bakar bin Abdullah Al-Muzani yang biografinya bisa kita dapatkan dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib berkata : “Hati-hatilah kalian terhadap perkataan yang sekalipun benar kalian tidak diberi pahala, namun apabila kalian salah kalian berdosa. Perkataan tersebut adalah berprasangka buruk terhadap saudaramu”.
Disebutkan dalam kitab Al-Hilyah karya Abu Nu’aim (II/285) bahwa Abu Qilabah Abdullah bin Yazid Al-Jurmi berkata : “Apabila ada berita tentang tindakan saudaramu yang tidak kamu sukai, maka berusaha keraslah mancarikan alasan untuknya. Apabila kamu tidak mendapatkan alasan untuknya, maka katakanlah kepada dirimu sendiri, “Saya kira saudaraku itu mempunyai alasan yang tepat sehingga melakukan perbuatan tersebut”.
Sufyan bin Husain berkata, “Aku pernah menyebutkan kejelekan seseorang di hadapan Iyas bin Mu’awiyyah. Beliaupun memandangi wajahku seraya berkata, “Apakah kamu pernah ikut memerangi bangsa Romawi?” Aku menjawab, “Tidak”. Beliau bertanya lagi, “Kalau memerangi bangsa Sind, Hind (India) atau Turki?” Aku juga menjawab, “Tidak”. Beliau berkata, “Apakah layak, bangsa Romawi, Sind, Hind dan Turki selemat dari kejelekanmu sementara saudaramu yang muslim tidak selamat dari kejelekanmu?” Setelah kejadian itu, aku tidak pernah mengulangi lagi berbuat seperti itu” [Lihat Kitab Bidayah wa Nihayah karya Ibnu Katsir (XIII/121)]
”Orang yang berakal wajib mencari keselamatan untuk dirinya dengan meninggalkan perbuatan tajassus dan senantiasa sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri. Sesungguhnya orang yang sibuk memikirkan kejelekan dirinya sendiri dan melupakan kejelekan orang lain, maka hatinya akan tenteram dan tidak akan merasa capai. Setiap kali dia melihat kejelekan yang ada pada dirinya, maka dia akan merasa hina tatkala melihat kejelekan yang serupa ada pada saudaranya. Sementara orang yang senantiasa sibuk memperhatikan kejelekan orang lain dan melupakan kejelekannya sendiri, maka hatinya akan buta, badannya akan merasa letih dan akan sulit baginya meninggalkan kejelekan dirinya”.

Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri (mencela antara sesama mukmin karana orang-orang mukmin seperti satu tubuh) dan jangan memanggil dengan gelaran yang mengandung ejekan. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman (Panggilan yang buruk ialah gelar yang tidak disukai oleh orang yang digelari, seperti panggilan kepada orang yang sudah beriman, dengan panggilan seperti: hai fasik, hai kafir dan sebagainya) dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Al-Jumanatul ‘Ali, 2004: 516)

Kata  ijtanibu terambil dari kata  janb yang berarti samping. Mengesampingkan sesuatu berarti menjauhkan dari jangkauan tangan. Dari sini kata tersebut diartikan jauhi.Penambahan huruf  ta, pada kata tersebut berfungsi penekanan yang berarti kata ijtanibuberarti bersungguh-sungguhlah. Upaya sungguh-sungguh untuk menghindari prasangka buruk. (Al-Qardawi, 2004: 387). Kata ijtanibu dari kata Janb mengikuti wazan Ifta’ala dengan tambahan hamzah diawalnya dan huruf ta’ diantara diantara huruf fa’ dan ‘ain. Hal semacam ini mempunyai faedah Lil Ittihkodz atau menjadikan. (Ma’shum, : 25).
ظن = التخمين  berarti dugaan atau perkiraan. (A. W. Munawwir, 1997: 883). Yang namanya dugaan atau perkiraan, tentunya didalamnya mempunyai kemungkinan benar atau salah. Imam Jalalain menerangkan bahwa yang dimaksud dengan Dzann dalam ayat ini adalah dilarang berprasangka buruk terhadap orang mukmin dengan menyangka mereka melakukan perbuatan fasik dan sebagainya, padahal mereka kaum mukmin tidak melakukan hal tersebut.(Mahalli&Suyuthi, :686). Sedangkan Inb Katsir menerangkan dalam kitabnya bahwa yang dimaksud Dzann dalam ayat ini adalah memberikan atau mengatakan tuduhan (fitnah) yang buruk kepada keluarga, teman atau orang lain tanpa ada bukti nyata yang menyertainya. Kemudian Ibn Katsir mengatakan bahwa kita selaku orang mukmin harus berusaha untuk mengjauhi dari hal-hal berikut karena ada dosa yang sangat besar didalamnya. (Ibn Katsir, 1999: 377).
Sebagai mukmin kita seharusnya menjauhi buruk sangka terhadap orang-orang yang beriman dan jika mereka mendengar sebuah kalimat yang keluar dari mulut saudaranya yang mukmin, maka kalimat itu harus diberi tanggapan yang baik, ditujukan kepada pengertian yang baik, dan jangan sekali-kali timbul salah faham, apalagi menyelewengkannya sehingga menimbulkan fitnah dan prasangka. Pada dasarnya setiap orang bebas dari asas praduga tak bersalah. Allah SWT melarang melakukan perbuatan buruk yang sifatnya tersembunyi. Dengan cara memerintahkan kepada hamba-Nya untuk menghindari buruk sangka terhadap sesama manusia dan menuduh mereka berkhianat pada apa pun yang mereka ucapakan dan yang mereka lakukan. Adapun dugaan yang dilarang dalam ayat ini adalah dugaan buruk yang dialamatkan kepada orang baik, sedangkan dugaan yang ditujukan kepada orang yang berbuat kejahatan/fasik adalah seperti yang nampak dalam kehidupan sehari-harinya. Karena sebagian dari dugaan dan tuduhan tersebut kadang-kadang merupakan dosa semata-mata. Maka hendaklah menghindari kebanyakan dari hal seperti itu. (Al-Maraghi, 1993: 27).
Wahbah Zuhaili dalam Tafsir Munir mengatakan bahwa dhan (dugaan) itu terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pertama dhan yang sifatnya wajib/diperintahkan oleh Allah SWT. Misalnya berbaik sangka kepada Allah dan orang-orang mukmin, ketika Allah memberikan suatu musibah maka seorang hamba harus menyadari bahwa hal tersebut merupakan kasih sayang Allah kepadanya. Karena bisa jadi ujian/musibah tersebut bertujuan untuk mengangkat derajat atau menghapus dosanya. Kedua dhan yang dilarang/haram, misalnya berburuk sangka kepada Allah dan orang shaleh. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa siapa saja yang berburuk sangka kepada saudaranya berarti orang tersebut telah berburuk sangka kepada Allah SWT. Ketiga dhan yang dianjurkan seperti berbaik sangka kepada saudaranya yang muslim, dan berburuk sangka jika memang yang bersangkutan telah nampak berbuat kefasikan. (Zuhaili, : 578)
Sesungguhnya prasangka (buruk) itu adalah dosa. Ayat ini merupakan alasan dilarangnya berburuk sangka, karena perbuatan tersebut termasuk dosa. Adapun contoh dugaan yang termasuk dosa adalah menuduh wanita mukminah melakukan perbuatan keji, padahal dalam kesehariannya nampak sifat yang terpuji. Oleh karena itu, seorang Muslim hendaknya tidak mudah berburuk sangka, dan biasakanlah dengan berpositif thinking(husnudhdhan), (Husaeri, 2008: 39). Ayat tersebut menjadi dasar larangan menduga, Yakni dugaan yang tidak berdasar. Apabila ada bukti kuat yang mendukung dugaan seseorang maka hal itu tidak mengapa. Dugaan buruk dan tidak didukung dengan bukti kuat, hanya akan menguras energi seseorang, akibatnya pikiran akan habis untuk menduga sesuatu yang tidak berdasar. Tidak mengherankan apabila hidup tidak menjadi produktif dan menjadi sia-sia dikarenakan dugaan buruk tersebut. (Al-Qardawi, 2004: 255).
Kemudian Allah juga melarang kita agar tidak memata-matai atau mencari kesalahan orang lain dengan sembunyi-sembunyi. Dalam ayat diatas dijelaskan dengan kata Walaa Tajassasuu. Tajassuss berasal dari kata Jassa-yajussu yang artinya menyelidiki atau memata-matai. (A. W. Munawwir, 2008: 192). Imam al-Ghazali memahami larangan ini dalam arti, jangan tidak membiarkan orang berada dalam kerahasiahannya. Yakni setiap orang berhak menyembunyikan apa yang enggan diketahui orang lain. Jika demikian jangan berusaha menyingkap apa yang dirahasiakannya itu. Mencari-cari kesalahan orang lain biasanya lahir dari dugaan negatif terhadapnya, karena itu ia disebutkan setelah larangan menduga. (Shihab, 2003: 255).
Tajassus merupakan kelanjutan dari menduga, oleh karenanya ia dilarang. Tajassus dapat merenggangkan tali persaudaraan. Sama halnya seperti menduga, tajassus pun demikian ada yang dilarang ada pula yang dibenarkan. Ia dapat dibenarkan dalam konteks pemeliharaan negara atau untuk menarik mudharat yang sifatnya umum. Adapun tajassus untuk mencari rahasia orang lain, ia lebih dilarang. (Husaeri, 2008: 40).
Ayat ini juga menjadi pesan mengenai wajibnya menjaga kehormatan orang mukmin ketika yang bersangkutan tidak ada dihadapannya, dengan tidak melakukan ghibah atau menggunjing. Dan telah ditafsirkan pula pengertian ghibah oleh Rasulallah SAW, sebagaimana yang terdapat dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Dawud, bahwa Abu Hurairah RA berkata:

Abu Hurairah r.a berkata, Rasulallah bersabda,! Tahukah kamu apakah ghibah itu? Jawab sahabat, Allah dan Rasulallah yang lebih mengetahui. Nabi bersabda, .Kamu menceritakan perihal saudaramu yang tidak disukainya.. Ditanyakan lagi, .Bagaimana bila keadaan saudaraku itu sesuai dengan yang aku katakan?. Jawab Nabi, .Bila keadaan saudaramu itu sesuai dengan yang kamu katakan, maka itulah ghibah terhadapnya. Bila tidak terdapat apa yang kamu katakan, maka kamu telah berbohong.(HR Turmuzdi). (Abd. Aziz, 1999: 450).

Sesungguhnya ghibah adalah sebuah keinginan untuk menghancurkan orang lain, menodai harga dirinya, kemuliaannya, dan kehormatannya, ketika mereka sedang tidak ada di hadapannya. Ini menunjukkan kelicikan dan kepengecutan, karena ghibah sama dengan menusuk dari belakang. Ghibah merupakan salah satu bentuk perampasan, ghibah merupakan tindakan melawan orang yang tidak berdaya, ghibah merupakan tindakan penghancuran. Karena dengan melakukan ghibah, sedikit sekali lidah seseorang selamat dari mencela dan melukai hati orang lain.




0 komentar: